Saturday, July 10, 2010

Fenomena Mudik

Saya ingin bagi-bagi sedikit tentang tulisan saya pada Tugas Mata Kuliah "Perkotaan" semeter lalu mengenai Fenomena Mudik. Ketika itu, beberapa hari sebelum liburan, Dosen saya meminta kami mengekspresikan "mudik" dalam suatu tulisan.




FENOMENA “MUDIK”

Mudik menurut kamus KBBI adalah berlayar; pergi; pulang kekampung halaman. Fenomena mudik akan terus terjadi selama ada istilah “kota” dan “desa”. Mudik sendiri sudah menjadi suatu kebudayaan dimana sekelompok orang terbiasa untuk “mudik” setiap hari-hari besar seperti hari raya ataupun liburan.
Saya berdarah Batak, namun saya kelahiran Jakarta dan menetap di Bekasi. Sejak duduk dibangku SMA, saya sekolah dan tinggal diasrama di Pasuruan, Jawa Timur. Istilah “mudik” jelas akrab dengan saya. Karena setiap enam bulan setelah ujian semester, saya “mudik” ke Bekasi - tempat tinggal orangtua saya.
Tapi, apakah itu yang dinamakan “mudik”, karena Bekasi adalah tempat tinggal orangtua saya, dan bukan kampung halaman keluarga saya-Samosir, Sumatera Utara. Namun, menurut saya pengertian “mudik” sendiri bersifat subyektif bagi yang melakukannya. Ketika saya tinggal jauh dari orangtua, bagi saya “mudik” adalah kembali ke rumah orangtua saya, namun ketika saya berada dan tinggal dirumah orangtua, bagi saya “mudik” adalah pergi ketempat nenek saya di Samosir.
“Mudik” bagi keluarga saya sendiri bukanlah “pulang kampung” ke Sumatera saat hari raya. Namun lebih mendefinisikan saat kami pulang ke Sumatera, untuk acara perkawinan, pemakaman, atau hanya sekedar berkunjung saat ada waktu, bahkan meskipun kami tidak datang ke Samosir, tapi ke Medan atau kota lain di Sumatera Utara dimana keluarga kami tinggal, kami tetap menyebutnya dengan kata “mudik”. Sehingga, kata “mudik” sendiri mengalami perluasan makna.
“Mudik” bagi saya pribadi lebih erat kaitannya dengan pulang kerumah orangtua saya, dimana saya seringkali menyebutnya dengan bahasa “pulkam” yang merupakan singkatan dari pulang kampung. Bagi saya, hal tersebut merupakan suatu keharusan, karena bagi saya, itu adalah daerah asal saya selain Samosir, dan Surabaya-tempat tinggal saya untuk beberapa waktu ke depan-adalah tempat yang asing bagi saya, meskipun sudah 3 tahun lebih saya tinggal disana. Untuk itu, saya melakukan “mudik” sebagai suatu kewajiban dimana saya kembali ketempat asal saya saat ini-tempat dimana orangtua saya berada. Ketika “mudik” sudah seperti kewajiban dan membudaya bagi saya, maka itu menjadi suatu rutinitas bagi saya setiap enam bulan pada enam tahun terakhir ini sejak saya SMA.
Apa yang menyebabkan eksistensi “mudik” adalah selama ada mobilisasi, urbanisasi, transmigrasi, dan lain hal, maka masyarakat akan “mudik” untuk kembali berkumpul dengan keluarga dan koleganya.
Fenomena “mudik” biasanya identik dengan kemacetan disatu sisi tempat dan kelenggangan disatu sisi yang lain. Ketika “mudik” saat libur lebaran, biasanya biaya angkutan naik beberapa persen, tentu hal tersebut lumrah terjadi sesuai dengan prinsip ekonomi, permintaan meningkat, barang terbatas (angkutan) dan hargapun meningkat.
Beberapa kali saya pernah naik kereta ekonomi saat libur lebaran dari Pasar Turi ke Pasar Senen, terkadang keadaan kereta tidak terlalu ramai, terkadang bahkan sangat penuh sekali hingga orang-orang membeli koran untuk tidur dibawah kursi. Ketika berbincang-bincang dengan sesama penumpang, ada yang mengatakan bahwa beliau “mudik” ke rumah martuanya meskipun suaminya tidak ikut, ada pula yang “mudik” untuk bertemu anak dan isterinya namun orangtuanya tinggal didaerah lain, adapula yang “mudik” bertemu dengan paman dan bibinya karena rumah orangtuanya dipulau lain. Satu hal yang saya dapatkan adalah bahwa fenomena “mudik” berbeda antara setiap individu. Dan hal yang ditekankan adalah “silahturahmi”, bahkan ada pepatah yang mengatakan “makan gak makan asal ngumpul” dimana mengekspresikan betapa pentingnya berkumpul bersama keluarga, yang merupakan suatu tradisi dari budaya Timur dan predikat manusia sebagai makhluk sosial.
Selama ini, proses mudik yang saya alami tidak pernah mengalami hal-hal yang merugikan atau suatu pengalaman buruk apapun kecuali muntah, hingga mudik terakhir kemarin yang merupakan mudik terburuk bagi saya karena menyebabkan saya kehilangan handphone saya, dan terjadi ketika berada distasiun kereta Pasar Turi, tepat beberapa menit setelah saya turun dari kereta sesampainya saya diSurabaya. Saya sudah memiliki firasat akan terjadi sesuatu yang buruk, hati nurani saya bahkan berkali-kali memaksa saya untuk memasukkan handphone saya kedalam tas, karena saya tahu orang tersebut (yang saya yakin merupakan pencurinya) sudah melihat saya dengan tatapan mencurigakan. Hanya karena saya menjaga seorang anak kecil didepan saya yang tertinggal jauh dengan kakaknya, hingga saya tidak waspada hingga mata serta tangan saya berfokus pada anak kecil tersebut dan bukan pada barang-barang saya. Bagimanapun ini merupakan suatu pengalaman mudik terburuk karena biasanya selama ini, saya selalu bebas dari tangan-tangan jahil pencuri. Saya menyadari bahwa stasiun adalah tempat yang rawan dengan pencuri, namun karena selama ini semuanya baik-baik saja dan saya tidak pernah mengalami hal-hal yang merugikan seperti itu, hingga saya menjadi tidak waspada terhadap intaian pencuri. Mudik kali ini membawa musibah bagi saya. Namun, saya tahu kejahatan akan terjadi dimana ada kesempatan. Dan, sisi positif yang saya dapat adalah untuk lebih waspada dimana pun saya berada, dan tidak ceroboh khusunya berkaitan dengan menjaga baran-barang saya. Begitu saya tahu ponsel saya hilang, saya terpaku dan meminjam ponsel oranglain untuk mencoba menghubungi ponsel saya tersebut, namun tentu saja yang saya dapati adalah ponsel tersebut dalam keadaan tidak dapat dihubungi. Akhirnya, saya sesampainya dikontrakan, saya meminjam ponsel teman saya untuk menghubungi orangtua. Hal yang saya alami tersebut menggambarkan satu dari sekian banyak kasus kejahatan khususnya pencurian yang biasanya menjadi suatu fenomena dimusim “mudik”, meskipun tidak selalu. Namun, padatnya arus mudik dan arus balik memberikan celah bagi pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksinya.
Perjalanan “mudik” ketika saya naik pesawat dari Bandara Juanda ke Bandara Soekarno Hatta dan naik bus “Kramat Djati” dari Pasuruan ke Rawamangun atau naik kereta api dari Pasar Turi ke Pasar Senen membawa suatu sensasi tersendiri bagi saya.
Fenomena yang agak ekstrem dari mudik yang saya ketahui adalah dimana beberapa keluarga dengan rela melakukan perjalanan jauh mengendarai motor dan berhimpitan dalam satu kendaraan agar dapat “mudik” dan berlebaran bersama sanak saudara, dan tidak sedikit yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Ada pula yang rela menaiki kereta barang dan berdesak-desakan hingga pingsan akibat kekurangan oksigen. Darisana, saya dapat menarik kesimpulan betapa pentingnya “mudik” dimaknai oleh masyarakat.
Apakah yang membedakan makna “mudik” bagi orang desa dengan orang kota? Menurut saya, “mudik” lebih dimaknai oleh masyarakat yang tinggal dikota. Karena orang desa yang tinggal dikotalah yang mengalaminya. Meskipun beberapa diantara mereka tidak lahir didesa -namun atribut mereka, sebagai keturunan dari orang yang tinggal disana-menjadikan tempat tersebut (desa) sebagai kampung halaman mereka.
Namun terkadang “mudik” diidentikkan dengan berlebaran. Mengingat betapa pentingnya budaya “mudik” saat lebaran, dimana semua keluarga dan kolega berkumpul untuk “silahturahmi”. Bagaimana dengan anda? Seperti apa anda memaknai "mudik" itu sendiri?