Sunday, July 11, 2010

My Crazy Experience

SMA
Pengalamanku mendaki Gunung Arjuna. Ketika itu, semua orang sibuk mempersiapkan keperluan-keperluan untuk naik gunung. Gunung Arjuna, yang letaknya tidak terlalu jauh dari sekolahku, Gunung itu nampak cukup mempesona, saat aku meliriknya dari jendela kamarku.
Aku? Si Manusia lemah ini? Naik gunung? Gak, salah nih?
Pagi itu, aku melihat beberapa kendaraan, tepatnya truk dihalaman sekolahku. Ini adalah kendaraan yang akan kami tumpangi ke daerah kaki Gunung Arjuna, yaitu kebun teh. What? Its mean, kita berdiri selama perjalanan dari Asrama hingga kebun teh. Naik gunung tahun ini lebih membuatku semangat, karena tahun lalu aku gagal menginjakkan kakiku di puncak Gunung Arjuna. Kali ini, aku tidak minta ijin dengan orangtua karena tahu 100% aku sudah pasti dilarang. Menurut rencanaku, aku akan melaporkan tindakan kejahatanku ini, saat aku sampai dipuncak nanti. Jadi jelas tidak mungkin dilarang kan, masa aku dilarang untuk turun gunung, kan tidak mungkin.
Seperti biasa, kami dibagi menjadi beberapa kelompok, dimana setiap anggota kelompok bertanggung jawab menjaga keselamatan antara satu dengan yang lain.
” Natnat, pake dulu handsaplastnya.”
” Handsaplast? Buat apa, Deb?”
” Yah, si Natnat, buat mencegah sinusitis tau.”
” Sinus apaan, Deb?”
Ehem, memang aku agak terbelakang dalam hal pengetahuan, kecuali dalam hal pengetahuan tentang film-film ditv, yang jelas bisa kupastikan mendapat 100 seandainya saja dijadikan soal ujian. Seingatku, sinus itu sesuatu yang ada dimatematika, atau entah pelajaran mana yang ada kalkulasinya. Arrrghhh.
Aduh capek. Rasanya kakiku sudah mau copot, setelah menelusuri kebun teh, kemudian menyisiri daerah ilalang yang cukup panjang. Kemudian menuju hutan kecil. Apalagi karena suasana sudah mulai mencekam. Rasanya selain mengalami kelelahan fisik, aku juga mengalami kelelahan batin
” Jangan bengong, jangan ngomong jorok lu pada yah.”kata ketua kelompokku begitu kami memasuki daerah hutan kecil
”iya.” jawab anak-anak serentak
Agak mengerikan. Menurut pengalamanku tahun lalu, hutan kecil penuh dengan hal-hal yang pastinya akan membuatmu bergidik. Mulai dari suara dan gerakan ular, yang terasa sangat dekat sekali dengan kakimu, hingga kau merasakan gerakannya. Babon, yang nampak berada diatas pohon dari kejauhan. Dan untungnya, aku tidak berhadapan langsung dengannya. Karena apa yang harus kulakukan nanti. Mengajaknya duel maut. Atau melakukan permainan true or dare?
” Dingin.”rintihku
” Sabar ya natnat.” kata Freddy
” Natnat, Debi punya cokelat nih, natnat mau gak?”
”Gak apa-apa kok Deb, Natnat juga ada, makasih ya jawabku sambil mengeluarkan choki-choki(cemilan rasa cokelat) dari tasku.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Untung kami sudah tiba. Dan karena cepatnya kelompok kami berjalan, kami beristirahat ditanah lapang.
Ada satu tenda disana, dimana kebanyakan para perempuan memilih untuk membaringkan badan, walau bekan main berdesakan didalamnya. Hanya saja, aku tidak merasa hangat sama sekali, tubuhku tidak kuat melawan dingin. Aku menempelkan diri pada teman-temanku sambil terus menerus menggigil Aku harus berusaha tidur, bila ingin ikut dengan rombongan yang 1 jam lagi akan meneruskan perjalanan ke puncak Arjuna untuk mengejar sunrise.
”Natnat, bangun.” ujar Debi sambil menggoyang-goyangkan dan menepuk-nepuk tubuhku, karena dia tahu dengan jelas, aku sangat sulit dibangunkan. Akhirnya, dengan gesture yang malas-malasan, aku beranjak dan keluar tenda, berkumpul dengan rombongan yang bersiap untuk berangkat.
Aku, adalah anak yang penakut, sangat penakut tepatnya. Namun, suasana semengerikan apapun bila berada ditengah banyak orang, aku tetap merasa aman dan berani. Aku berusaha memfokuskan pikiranku agar tidak bengong. Aku membayangkan, betapa bangganya aku terhadap diriku sendiri bila aku benar-benar sampai dan menginjakkan kakiku di puncak Arjuna.
Rasanya aku tidak kuat, aku sudah mau mati. Oopps, berlebihan. Maksudnya, aku tidak kuat lagi. Untung solidaritas teman-temanku tinggi. James, temanku membantuku naik mendaki dengan menarikku sepanjang jalan. Sulit sekali untuk tidak mengeluh, tapi aku benar-benar sudah menyerah. Aku terus menerus menggigil sepanjang perjalanan. Dan, karena terlalu banyak berhenti untuk istirahat, akhirnya aku dan beberapa temanku tertinggal oleh rombongan.
Subuh itu, suasana cukup mengerikan. Suara-suara yang tak tahu bersumber darimana, mengiringi perjalanan kami menuju puncak.
Agak mengerikan, kami berusaha memperhatikan langkah kami, bahkan dalam kegelapan malam, karena kami berjalan disisi jurang. Dan, waw, sekali kau mengalihkan pandanganmu, kau akan terjun bebas ke bawah.
Aku melihat jam diponselku dan waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Bagaimana ini, aku tidak akan sampai dipuncak tepat waktu untuk melihat sunrise. Dan benar kan, kami terlambat, kami tiba beberapa saat ketika matahari telah terbit. Tapi terlepas dari itu, aku merasakan suatu kepuasan tersendiri. Aku sampai puncak. Kamu berhasil menaklukan Arjuna, Nat. Dengan angkuhnya, aku mengambil ponsel dari tasku, dan menelepon mamaku, untuk mengabarkan kabar sukacita ini. Tapi, jelas reaksi mereka berbeda jauh dengan yang aku harapkan. Alih-alih memujiku karena aku begitu hebat, mereka malah menasihatiku, sedikit memarahi, dan tampak sangat khawatir padaku. Aksi penasehatan itu terputus karena baterai ponselku habis dan menyebabkan ponselku mati. Beberapa anak, termasuk aku mengukirkan nama kami di batu-batu besar yang ada dipuncak itu, dan ada sangat banyak nama-nama lain disana, yang aku duga adalah pendaki-pendaki terdahulu sebelum kami. Ada bunga edelwise yang tumbuh dipuncak Arjuna. Tapi, para pendaki dilarang untuk memetiknya, dengan alasan keramat atau entah apalah.
Perjalanan turun kebawah, disinilah semua hal buruk terjadi. Berbeda dengan perjalanan menuju puncak dimana orang-orang terkumpul dalam kelompok-kelompok, perjalanan ke bawah hampir semuaorang terpencar-pencar. Dan jadilah, entah bagaimana, saat melalui hutan kecil, tinggal aku dan Joshua. Bodohnya, kami merasa kelelahan dan sangat mengantuk ditengah perjalanan sehingga saat menemukan sebuah gubuk,kami sepakat untuk tidur sebentar. Hingga akhirnya Budi, lewat dan membangunkan kami. Bukannya merasa lebih fresh, setelah tidur, aku merasa sangat tidak enak badan, dan sepertinya aku tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Menyebalkan, aku bukannya manja, tapi aku benar-benar tidak kuat, Budi dan Joshua berlari sprint, sangat cepat sekali,dan aku sangat tidak mampu menyusul mereka. Mungkin karena berkonsentrasi menuju ke bawah, mereka tidak sadar, kalau aku tertinggal dibelakang, sangat jauh dari mereka. Akhirnya tinggallah aku sendirian, tidak tahu arah, dengan tubuh yang sangat lemah. Setelah beberapa jam berjalan, dan mengikuti arah sesuai feelingku, akhirnya aku bertemu sekelompok temanku. Tapi, sayangnya, aku sudah tidak kuat lagi, kakiku rasanya kram, aku sudah tidak berkuasa lagi memerintahkan kakiku untuk bergerak. Alhasil, setelah berjalan lagi sebentar bersama teman-temanku, napasku tidak karuan, rasanya paru-paruku sakit sekali, sakit, aku tidak kuat lagi, aku terjatuh, dan aku tidak tahu apa-apalagi sejak saat itu, hingga aku terbangun di rumah ibu asramaku. Mom Pungus, langsung menyuruh teman-temanku memandikanku dirumahnya, karena aku sangat kotor dan kacau. Memalukan, aku dimandikan oleh teman-temanku. Aarrrghh. Tapi, lihatlah nat, betapa pedulinya mereka padamu. Aku langsung tertidur pulas,hingga keesokan harinya. Dan memaksakan diri untuk masuk sekolah, meskipun Debi memapahku seharian. Beberapa teman memarahi Budi dan Joshua karena meninggalkanku. Tapi, aku rasa itu tidak sepenuhnya salah mereka. Aku berangkat tanpa restu orangtuaku,dan lihatlah hasilnya. Mamaku sudah melarangku sebelumnya, tapi tetap kulakukan. Namun, ada banyak hal dan pengalaman yang kudapat dari kejadian ini.

Memasuki detik-detik terakhirku di kelas 3 SMA, masalah klasik yang dialami oleh kebanyakan siswa saat itu adalah mau kemana aku meneruskan sekolahku nanti. Tapi aku, seseorang yang membutuhkan tidur 18jam, ketika itu, yang hanya sedih ketika menonton film-film korea dan keluarga cemara, aku, sedikitpun tidak peduli. Panas kupingku mendengar setiap orang yang menanyakanku “mau kuliah dimana? Jurusan apa?” ingin rasanya aku menjawab, “ Terserah angin membawaku kemana” maksudnya? Aku sekolah di sekolah berasrama dipasuruan. Sementara rumahku sendiri dibekasi. Selama sekolah disana, dengan peraturan yang begitu ketat, kami tidak diijinkan pergi kemanapun. Jam keluar hanya dua kali sebulan pada hari minggu, itupun pukul 5sore harus segera kembali keasrama. Alhasil kami tidak tahu banyak tempat didaerah itu. Setelah UAN dan UAS, mendekati penamatan maksudnya wisuda diSMAku, entah apa yang mendorongku untuk tiba-tiba disuatu pagi mengajak temanku pergi melihat-lihat keUNAIR. Dengan aku yang modal nekad dan dia yang tipe ya-ya-saja. Flashback kemasa laluku, aku adalah anak manja yang istilahnya, kata teman-temanku ”anak pingit” sebab tidak pernah pergi kemanapun. Alhasil kami berangkatlah keUNAIR dengan bus yang melintas dari depan sekolah kami menuju Surabaya. Sampai diterminal Bungur Asih, kami bertanya pada orang-orang disana angkutan apa yang harus kami naiki untuk sampai ke UNAIR. Meskipun bermasalah dengan Bahasa Jawa yang mereka gunakan, karena kami tidak terlalu paham, namun akhirnya kami sampai juga diUNAIR, walaupun temanku terus memekakkan telingaku dengan keluhan panas, lama, atau betapa nekad dan bodohnya kami melakukan semua ini. Tapi, untunglah, aku tidak tahu apa ini semua hanya sebuah kebetulan atau apa, hari dimana kami pertama kali keUNAIR itu tepat 1hari sebelum pengambilan formulir PMDK umum. Nampaknya temanku tidak tertarik sama sekali, akupun sebenarnya tidak pernah terlintas untuk mendaftar. Aku beritakan hal tersebut pada orangtuaku dan mereka memberi respon positif agar aku segera membeli formulir tersebut keesokan harinya, hal yang mengejutkan bagiku, karena seingatku mereka yang memintaku untuk kuliah di Jakarta. Namun, aku bingung memutuskan Fakultas apa yang kutuju. Dan tanpa berpikir panjang, aku tiba-tiba memilih HI dan Psikologi ketika mengisi formulir tersebut. Temanku sudah jera pergi kesana dan tidak menemaniku dihari kedua. Agak sedih aku meratapi diriku sendirian disana. Sementara oranglain bersama orangtua mereka ataupun teman-teman mereka. Dengan lagak sok kenal, aku menyapa beberapa orang yang aku ketemui disana, untung aku mendapat respon balik yang positif dari mereka. Kemudian aku pulang, ijin kekepala asrama untuk pergi keluar lagi untuk cuci foto karena aku tidak punya 1fotopun untuk kusertakan diformulir tersebut. Mungkin aku sedang sial, ketika menunggu kol(angkutan) untuk pulang, aku merogoh kantungku dan tidak mendapati uang sepeserpun disana. Tidak. Bagaimana mungkin, aku bawa cukup banyak uang. Dan, tebak saja, aku pulang jalan kaki (kira-kira dari Gubeng Airlangga sampai delta). Kemudian, tiba hari aku mengumpulkan formulir tersebut. Sesuatu yang aneh terus berkutat dipikiranku. Yakinkah aku melakukan semua ini, padahal aku tidak punya persiapan apapun. Istilahnya UAN saja sudah untung kalau lulus. Hari itu aku berniat untuk naik kereta penataran dari Lawang untuk keUNAIR, aku berangkat pukul 05.00a.m dari asrama menuju stasiun, dan ternyata aku tertinggal kereta. Dan tentu saja, dari depan stasiun, aku kembali menunggu bus. Ketika ingin kembali kePasuruan, aku kembali mencoba naik kereta dari stasiun gubeng sendirian, namun karena tidak sempat makan pagi, terlalu lelah, kepanasan, dan sebagainya, ketika menunggu kereta, aku merasa tidak kuat dan hamper pingsan. Akhirnya dengan sangat terpaksa aku naik taksi dan menawar tarifnya hingga menjadi Rp.50.000,00 (kata teman-temanku jahat sekali), tapi aku belum mengambil uang dari ATM dan hanya sebesar itulah uang yang aku miliki hari itu. Malang memang.

Kuliah

Hari ini, aku berangkat ke Surabaya, karena aku diterima diUNAIR, yang bagiku masih misteri bagaimana itu bisa terjadi sebab aku tidak bisa mengisi hampir semua soal pada tes prestasi. Siang itu, suasana yang mengharukan tiba-tiba tercipta di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Orangtuaku mengantarkanku untuk melepasku kembali merantau untuk menuntut ilmu seperti yang pernah aku lakukan saat masuk SMA. Dengan dandanan ala pembantu kabur dari rumah, celana pendek dengan banyak kantung, kaus jelek, sandal jepit, dan wajah sudah berminyak, naiklah aku kekereta tersebut, orangtuaku dan saudara-saudaraku terus memintaku untuk “wake up” apa sih yang aku lakukan?menyiksa diri? Dan terus menjajaliku dengan tawaran naik bus Kramat Djati seperti biasa. Tapi,aku menolak, dengan alasan takut muntah, karena biasanya aku bisa menghasilkan 2-5 plastik muntahan selama perjalanan. Dan, aku merasa sedang memulai petualangan baru seperti ditv. Dikereta sangat ramai khususnya penjual yang berlalu-lalang hingga 24jam nonstop itu. Ada beberapa kecoa yang merayap didinding kereta tepat disebelahku. Dan ketika aku kekamar mandi, sangat sulit sekali untuk lewat, apalagi didepan pintu kamar mandi ada banyak orang. Ketika dikamar mandi, air kamar mandi yang kumasuki itu tidak nyala, untung aku sudah bawa sebotol aqua. Selama dikereta, aku tidak berani mengeluarkan ponselku, bahkan ada pikiran bodoh untuk tidak makan sekalian supaya benar-benar dikira tidak punya duit. Anak yang aneh. Alhasil, aku hanya makan atau minum-entahlah-sereal sepanjang perjalanan.
” Adek turun dimana?”
”Di Pasar Turi, Bu.”
” Pulang kampung ya. DiJakarta, kerja apa? Anak Ibu juga dulu diJakarta, tapi udah pulang. soalnya majikannya jahat, Adek kerja ditoko atau jadi pembantu?”
Ngik. Gak lagi-lagi deh. Disangkain pembantu, hampir seumur hidupku.Arrghh. Gak apa-apa deh, berarti penyamaran berhasil. Aku aman, gak akan ada yang mau ngerampok aku.
Aku menghabiskan waktu dengan tidur dan terbangun akibat kepanasan saat kereta berhenti disetiap stasiun kecil, biasanya menunggu kereta kereta bisnis atau eksekutif lewat terlebih dahulu. Kemudian, keesokan harinya, aku sampaidistasiun pasar turi. Akhirnya. Dengan, penampilan begitu lusuh dan barang bawaan yang begitu banyak (sepertinya aku menyesalinya), aku menanti angkutan keUNAIR. Karena sebelumnya aku sudah mendaftarkan diri diAsrama Putri Ekanita UNAIR. Aku bertanya kepada beberapa orang disana angkutan apa yang harus aku naiki untuk sampai ke UNAIR. Akhirnya aku tiba di kampus B UNAIR, melapor keibu asrama sebelum menempati kamarku

Disuatu malam aku menelepon ayahku, “Pa, aku boleh gak pergi clubbing, Cuma mau obsevasi doang. Cuma mau liat-liat aja, gak bakal ngapa-ngapain."
“ Yah, ngapain sih boru?”
“Cuma,mau liat doang. Disana juga cuma ngobrol ma temen-temenku, lagian ma anak baik-baik kok papa.”
“Ya udah deh, papa percaya sama kamu. Pakai baju hangat ya, boru.”
Alhasil pergilah kami di suatu malam, aku ingat sekali tanggalnya 4 Juni 2007, dari asramaku hanya 3 orang yang aku kenal, dan yang mengajak kami adalah mahasiswi pariwisata, dia sudah biasa dengan hal dugem perdugeman ini, dan kami mendapat cartu free pass masuk ke Hugo’s darinya. Pintu depan asramaku dikunci pukul 21.00 WIB. Namun, kami keluar sebelum pintu tersebut dikunci, ke kos temannya temanku. Malam itu sangat dingin. Dan, tentu saja kami akan kedinginan dengan pakaian yang kami pakai ini.
” Kami berhenti dikos temannya temanku tersebut, dan tentunya bertemu orang-orang yang tak ku kenal. Dan, hati kecilku berkata. ”Nat, apa yang kamu lakukan?” Tapi, tentu aku menepisnya dengan rasionalisasi yang ku buat sendiri.
Kami menunggu cukup lama dikos tersebut, karena mereka berdandan begitu lama, dan mengenakan pakaian seperti mau ke pesta. Dan Afni tiba-tiba berkata ” YA, ampun, Nat, mereka lepas jilbab mereka.” Dan, aku, tentu saja aku cuma bisa diam, dan berharap, tidak akan terjadi apa-apa pada kami.Akhirnya mereka turun, karena taksi yang kami telepon sudah menunggu di bawah. Dan, meluncurlah kami malam itu.
Begitu menginjakkan langkah pertama kami di Hugo’s, aku merasakan tatapan-tatapan yang membuat sangat tidak nyaman. Tapi, aku coba mengendalikan rasa cemasku dan berkata dalam hati ”Tenang, Nat, Everythings gonna be alright.”. Akhirnya, kami duduk di dua meja yang bersebrangan. Dan meja diseberang kami memesan red label dan tequila, saat waitress menghampiri meja kami, dan mereka mulai mengeluarkan kotak rokok dan menghisap rokok dengan ekspresi begitu nyaman. Namun, jelas membuatku dan temanku tidak nyaman.
”Dahsyat tu Nat, tuh cewek-cewek.”ujar Uli
”Tau ah Li, ilfeel gua.” Jawabku singkat
Semakin malam keadaanpun semakin menggila. Hampir semua pengunjung turun ke dance floor, Dengan paksaan dari teman-temannya temanku, kamipun terpaksa turun.
Awalnya semua baik-baik saja, sampai akhirnya, para cowok mulai berbaur dengan cewek. Dan jelas membuat aku dan afni tidak nyaman. Aku melihat teman-teman dari temanku mulai mabuk, dan nge-dance agak seronok dengan pria-pria yang aku berani bertaruh tidak dikenalnya. Akupun jelas mulai sangat ketakutan dan menarik diri ketempat dudukku, dan berpura-pura tidak enak badan, rasanya Afni menangkap kiat-kiat melarikan diriku dan menirukannya, karena dia tiba-tiba ada dikursi sebelahku.
Maka, jadilah kami berdua, orang teraneh disana. Dengan wajah begitu ngantuk. Padahal keesokan paginya, kami harus kuliah. Dan oopsss,apalagi sih ini. Beberapa cowok menghampiri kami, dan dengan sikap SKSD (Sok kenal sok dekat), bertanya hal-hal membosankan seperti siapa nama kami, dimana kami kuliah, jurusan apa. Dan, ya ampun, mereka mabuk dihadapan kami. Tuhan, jangan biarkan hal buruk terjadi pada kami. Perlu waktu yang lama untuk membujuk sisa orang-orang yang ku kenal disana (karena beberapa sudah pulang karena teler dan yang lainnya aku lihat menghilang dengan pria-entah siapa), dan akhirnya mereka menangkap mimik marahku, dan akhirnya bergegas ke taksi yang sedang menunggu kami. Dan, oops. Cowok-cowok tadi membuntuti kami. Dan, kami menghentikan taksi sebentar untuk menunjukkan bahwa kami sadar sedang dibuntuti.
Taksi pun berhenti didepan gerbang asrama kami. Namun, apa yang bisa kami lakukan, waktu menunjukkan pukul 03.30 WIB. Tentu pintu sudah terkunci, dan pintu depan akan terbuka pukul 06.00 sementara pintu belakang biasanya terbuka pukul 05.00 WIB. Alhasil, kami tidur dimainan anak-anak TK dihalaman asrama kami. Banyak nyamuk, dingin, jelas tidak empuk karena kami tidur dijaring-jaring, tapi kami harus tidur karena besok kami harus kuliah pagi.
”Nat, bangun. Ayo, lewat pintu belakang aja, dah dibuka tuh.”
Aku beranjak dengan malas-malasan, dan berjalan terbata-bata ke kamarku, tanpa mengganti pakaian aku tertidur kembali dengan pulasnya, kali ini dengan keadaan yang lebih nyaman. Dan, alasnya temanku memberikan nomer ponselku pada salah seorang pria yang kami temui kemaren. Dia meneleponku. Menakutkan. Dia bahkan datang ke asrama dan menungguku pulang kuliah. Dan praktis membuat ketakutanku kepadanya bertambah. Tapi, tentu saja, aku dengan sukses membuatnya merasa diabaikan dan tidak berani mendekatiku lagi. Lihatkan natalia, hasil dari pengalaman konyolmu ini.

Di bulan februari 2008, saat senggang setelah pembayaran uang kuliah, aku pergi ke Yogyakarta sendirian. Teman baikku sejak aku kelas 1SD, Olga, kuliah dan kos disana. Ia kuliah di UGM. Dengan nekadnya aku melakukan perjalanan pertamaku dari stasiun Gubeng, Surabaya menuju stasiun Lempuyangan Yogyakarta dengan kereta ekonomi Sritanjung dan hanya memakan biaya Rp.21.000,00. Bukankah seharusnya Surabaya-Yogya hanya memakan waktu 6-8jam? Tapi, kenapa ini sudah hampir 10jam dan belum sampai juga. Aku mencium sesuatu yang tidak benar disini.

Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 22 Februari 2008 pagi. Tiba-tiba disuatu pagi, entah kenapa aku tiba-tiba ingin pergi ke Madura. Dan dengan lugunya, aku mengatakan pada teman sekamarku ide gilaku tadi, dan anehnya lagi, dia menyanggupi ajakanku tadi, dan menyarankanku mengajak yang lainnya, yang sama mengagetkannya bagiku juga karena ia juga menyanggupinya. Akhirnya, berangkatlah kami dalam sekejap dipagi itu, tanpa tahu arah, dan tujuan rinci yang kami ingin capai, akhirnya dengan modal nekad dan kocek seadanya, petualangan si Bolang (Bocah Petualang) di mulai.
“Nat, kemana nih?”tanya Ida bingung “Menurut, sumber info, katanya sih ke TP dulu, terus nanti kita nunggu bus jurusan ke Perak. Selebihnya, terserah anda.”jawabku
Akhirnya, dengan bus jurusan Perak, sampailah kami di Pelabuhan Tanjung Perak dengan wajah polos dan tidak tahu apa-apa. Ini pertama kalinya, aku kesini,tapi entah kenapa, aku merasa bersemangat.
”Nat, kita cuma mau nyebrang aja kan?”tanya aricha cemas ”iya, cha.”jawabku
Saat kami membeli karcis, kami bertemu dengan ibu-ibu yang juga mau menyebrang ke Madura. Dan, agar lebih aman, kami mendekat dan ngobrol-ngobrol dengan ibu itu.
”Kalian mau kemana, dek?”tanya Ibu itu ”Cuma, mau nyebrang aja bu, nanti sampai di Madura, langsung naik kapal lagi ke Surabaya.”jawabku malu-malu.”Ya ampun, sayang banget. DiMadura, didaerah Sampang, ada pantai yang namanya Pantai Camplong. Dari Pelabuhan Kamal, kalian tinggal naik bus satu kali, nanti langsung berhenti di depan Pantainya, tinggal jalan sedikit.”jelas Ibu itu
Tiiit, kenapa aku rasa tanduk dikepalaku mulai tumbuh ya.
”Ida, gak tertarik, sayang loh da. Bentar aja kita disana, jadi kan kita benar-benar ke Madura, ayo da, sekali seumur hidup,jangan tanggung-tanggung.”
Aricha, seperti biasa, hanya berdiam diri, dia tampak bete, aku tahu segala aktivitas Bolang Perbolangan ini sangat tidak ”dirinya” sekali. Tapi, halo, enjoy yourself dong. Satu bete bisa menginfeksi yang lainnya.
”Ida, ida naik ke atas yuk, poto-poto. Cha, poto pake hape-mu dong.”
Yah, tentu saja, kami jadi sasaran empuk para anak-anak remaja yang biasa meminta-minta uang, ditambah model kami yang berpoto-poto dan menunjukkan handphone kami secara umum. Bagus. Seperti masuk lubang buaya.Banyak orang yang melihat ke arah kami, waktu kami berpose bak model papan atas ditangga kapal. Benar-benar Pasukan Berani Malu (PBM).
Aricha, nampak bete, tapi Ida dengan sedikit hasutan bisa dipertahankan minatnya. Akhirnya, kami sampai di Pelabuhan Kamal, dan dengan segala kenorakan kami, kami berfoto di patung Karapan Sapi, dan disekeliling pelabuhan itu. Sampai, akhirnya, kami menyadari bahwa bus yang kami tunggu tak kunjung datang.
Agak mengerikan, waktu menunggu bus, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti dan mengajak kami untuk ikut dan masuk ke mobil itu. Astaga, apa kami tampak seperti TKW yang sedang mencari pekerjaan? Halo?
Lama sekali kami menunggu, dan bus yang kami harapkan tak kunjung datang, menyebalkan bukan. Akhirnya, kami berjalan ke depan pelabuhan, dan berpapasan dengan para polisi.
”Mau kemana, Dek?” Tanya salah seorang polisi ”Mau ke Camplong, Pak.”jawabku. ”Ha,?ke Camplong? Mau ngapain?”tanyanya kemudian. “Mau main-main, Pak.”jawabku lugu. “Main-main.”ujarnya nampak sangat terkejut dan menoleh ke rah polisi-polisi yang lain. “Main-main jangan disini, dek. Main-main tuh dimall. Dasar anak-anak sekarang.”tambahnya
Yah, kena semprotan deh. Kami Cuma bisa cengar-cengir aja dimarah-marahin oleh polisi-polisi itu. Akhirnya, bus yang kami tunggu muncul juga. Beberapa polisi membantu kami, menghentikan bus tersebut, dan saat aku melirik ke bawah, mereka melambaikan tangan ke arah kami, memang kami siapa? Tamu Negara?
Seingatku, ibu tadi bilang, jarak dari pelabuhan Kamal menuju Camplong, tidak terlalu jauh, tapi kok rasanya sudah seabad, bus berjalan tanpa kami melihat ada pantai atau daerah yang bertuliskan Camplong. Kami pun mulai mengeluh, mana sih gak nyampe-nyampe, dan mengeluh kapan kami sampai ke asrama kalau jam segini belum sampai.
“Pak, nanti kalau sudah sampai Camplong tolong diberi tahu ya.”
”Wah, mba, udah kelewat sedikit.”
Beh, si bapak, kumaha atuh...Terus gimana dong. Penonton kecewa, kembalikan uang kami. Akhirnya, kami berjalan kaki, mencari dimana tempat yang bernama Pantai Camplong itu.
Dengan penuh perjuangan, kami menemukan pantai itu, setelah bertanya berkali-kali pada warga setempat yang kami temui dijalan. Bukannya, aku tidak mensyukuri keajaiban alam, tapi aku agak kecewa dengan penampakan pantai ini. Airnya kotor, cokelat, malah jadi mirip kali, tapi biarpun begitu, ada suatu kepuasan tersendiri karena kami sudah berhasil berpetualang dan mencapai madura dengan bermodalkan nekad dan wajah sok tahu. Tentu saja, inti dari petualangan kami adalah foto-foto, dan kami pun berfoto tak jemu-jemu di sepanjang pantai itu. Menjelang sore, kami beranjak meninggalkan daerah pantai. Perjalanan kembali ke Pelabuhan Kamal, kami habiskan dengan tidur sejenak dibus. Hari ini, benar-benar gila. Sesuatu akan benar-benar terjadi, jika kau benar-benar mengambil tindakan untuk menjadikannya nyata. Pagi ini, aku ingin melakukan sesuatu, yaitu pergi ke Madura, tanpa pengetahuan apapun tentang rute jalan kesana, pengalaman kesana, seharusnya itu tidak mungkin terlaksana, tapi ketika aku menyanggupinya dan bertemu orang-orang yang membantuku untuk melaksanakannya, maka aku menyadari tidak ada sesuatu yang mustahil, kalau kau mau berusaha.

Mungkin ini hal yang sangat sepele bagi orang lain, namun ini adalah titik tolak perkembanganku dari "kepompong" menjadi "kupu-kupu". Jangan ditertawakan ya.